Kembali
Oleh
Iva Yusdiana
Bapak
sudah menyeduh kopi pagi ini. Awalnya, ibu bingung, ke mana ia harus mencari
jatah kopi dan gula untuk bapak. Tapi ternyata, rizki datang dari mana saja, di
luar kemampuan nalar berpikir manusia. Semangka menjadi menu favorit kali ini.
Semangka pemberian Mbah Gini menjadi hal yang spesial di pagi ini.
Sore
itu, bapak memotong kayu di depan rumah. Ibu mendekati bapak dan berkata, “pak,
Budhe Happy baru saja telpon, kita besok berangkat ke Sumatra.”
Bapak
menatap ibu dengan kecemasan.
Senja seakan berhenti di kehidupan bapak. Jika bintang
selalu bercahaya di langit. Bulan selalu berjalan mengelilingi bumi. Laut tidak pernah meninggalkan pantai. Dan bapak
hanya bisa berkata dalam hati, rizki orang itu berbeda-beda, kenapa
istriku bersikeras mengejar keinginannya?
Ibu
menepuk pundak bapak dan berkata, “kok malah bengong?”
“Iya,
bu. Tapi, bagaimana nanti dengan sekolah Dirga?”
“Sudahlah,
pak! Soal pendidikan Dirga nanti sudah diatur oleh Budhe Happy. Bapak tidak
perlu terlalu khawatir,” jawab ibu menenangkan bapak. Bapak dan ibu pun lantas
berkemas untuk keberangkatan esok hari.
Ibu,
bapak, aku, dan Nisa adik perempuanku
berangkat ke Sumatra keesokan harinya. Bapak presiden, lebih tepatnya gambar
bapak presiden, kini ikut terkubur bersama puing-puing akibat gempa jogja hari
Sabtu kemarin. Puing demi puing ibu pandangi dengan seksama rumahnya yang kini
telah rata dengan tanah.
Berkata
ia padaku, “kita ini orang susah, nduk. Tapi, mengapa Tuhan memberi cobaan
semacam ini? Hikmah apa sebenarnya di balik ini semua?”
Sayang sekali, kejadian yang menimpa keluarga kami di
Klaten akibat kejadian yang menggempakan kota Jogja tak bisa kuabadikan.
Jangankan foto rumah, foto keluarga pun aku tak punya. Tapi, dalam hatiku aku
berjanji bahwa suatu hari nanti akan kukisahkan potret keluargaku melalui
tulisan. Meski
foto keluarga tak ada, namun ia akan abadi pada sebuah karya. Ya, karyaku yang
di dalamnya mengalir genetika darahku.
Bapak
bekerja sebagai seorang supir kurir penghantar barang di salah satu perusahaan
besar di Sumatra. Gaji beliau lebih besar jika dibandingkan gajinya di Jawa.
Namun, harta bukan segala senja yang bisa memunculkan 3 warna
keindahannya. Aku di
sini tak memiliki banyak teman. Hanya seekor monyet yang ibu pelihara sejak
kecil akibat ditinggal ibunya yang meninggal karena serangan jantung. Begitulah
kata ibu saat pertama kali mempertemukan monyet denganku.
Gempa itu yang merubah keluarga kami. Jika awan itu tak
bisa ku pegang, api itu selalu menyala untuk ku perjuangkan. Jika cinta
keluarga ini tak bisa ku kembalikan
sesediakala, aku hanya mengigatnya sampai aku lupa bagaimana rasanya
menjadi anak yang diharapkan oleh ibu dan bapak.
Setiap bapak pulang kerja, kami selalu berkumpul di teras
rumah ini,
Aku tak pernah menyesal kehilangan rumah yang mengikuti
arus rerintikan hujan itu, entah meresap ketanah atau mengalir begitu saja,
karna aku yakin, masih bersama bapak dan kamu Dirga, Nisa, anak-anakku wedok
sek ayu dewe, itu nikmat luar biasa dari Gusti sek gawe urip.
Bapak hanya menjawab perkataan ibu itu dengan menatap ibu
dalam-dalam.
“Udah lama ya pak, kita di sini,” ujar ibu lagi
Bapak menjawab dengan nada yang sedikit mengagetkan ibu
“ini kan yang ibu inginkan.” Diiringi tawa bapak sedikit menggoda ibu.
“Kan ini untuk kebaikan kita semua pak, untuk masa depan
Dirga.”
Bapak kan cuman bercanda bu, ya wis bapak adus sek ya
bu, itu pisang gorengnya dimakan lagi sama Dirga dan Nisa bu.
Tiga
tahun di Sumatra membuat bapak berpuas diri dalam mengadu nasib. Ia ingin lagi
kembali ke Jawa. Ibu menolak dan debat panjang terjadi antara keduanya,
layaknya politisi yang sedang berdiplomasi masalah kursi, panas dan saling
mencemooh. Sebenarnya aku pun keberatan jika harus pulang lagi ke tanah Jawa.
Kini aku telah duduk di kelas 5 SD, setidaknya, bapak harus menungguku lulus SD
dulu lalu kembali ke tanah Jawa.
Aku
mendengar dari kamar sebelah bapak berkata, “bu, ridho Allah itu ada di ridho
suami.”
Ibu
hanya diam dan terisak menangis keluar dari kamar. Sejak itu aku berjanji pada
senja untuk tak melawan arus apapun. Aku tak mau memihak kepada siapapun; baik
kepada ayah maupun ibu. Keesokan harinya, ibu dan bapak sudah baikan. Budhe
Happy membelai rambut dan berkata padaku, “nduk, hari ini nanti kamu akan
meninggalkan Sumatra dan akan kembali menjadi orang Jawa.”
“Budhe Happy juga ikut ke Jawa, kerumah Dirga kan budhe,”
ujarku yang dulu polos dan tak mengereti apa-apa.
“Nanti pakdhe gimana kalau budhe ikut ke Jawa nduk, budhe
disini aja, kamu sering-sering ngabarin budhe ya nduk besok kalau udah di Jawa.”
Diciumnya keningku.
Kita adalah sisa-sisa keikhlasan yang berarah pada ketiadaan,
akankan bisa bertemu kelak diperjumpaan abadi. Bermandikan sejuta cahaya yang
merah yang anggun layaknya dua perempuan ibu dan budhe Happy, semangat hidup
beliaulah yang bisa menjadikan aku seperti sekarang ini.
Di Jawa Bapak memutuskan untuk membangun kembali rumah
kami yang ada di Klaten dengan hasil jerih payahnya di Sumatra sebagai Supir. Ibu pun
kini kembali bekerja sebagai penjahit sepatu di Pasar Gentongan Klaten, kota
kelahiranku.