Minggu, 04 Januari 2015

REMEMBER



Love is many blended things
You will live as long as I’m alive
I can’t see you
I can’t touch you
I can’t meet you
But I can feel you
I will never be that girl again
You just disappear from my eyes not my heart
Blue moon is our life
The moon when comes in the night
It’s so hard to touch you
I miss everything we do
I’m half a heart without you
No other lover has ever done that
I used to think you were the one
But …
We don’t know what the future brings
None of us without you
You are my poetry

KEMBALI



Kembali
Oleh
 Iva Yusdiana

Bapak sudah menyeduh kopi pagi ini. Awalnya, ibu bingung, ke mana ia harus mencari jatah kopi dan gula untuk bapak. Tapi ternyata, rizki datang dari mana saja, di luar kemampuan nalar berpikir manusia. Semangka menjadi menu favorit kali ini. Semangka pemberian Mbah Gini menjadi hal yang spesial di pagi ini.
Sore itu, bapak memotong kayu di depan rumah. Ibu mendekati bapak dan berkata, “pak, Budhe Happy baru saja telpon, kita besok berangkat ke Sumatra.”
Bapak menatap ibu dengan kecemasan.
Senja seakan berhenti di kehidupan bapak. Jika bintang selalu bercahaya di langit. Bulan selalu berjalan mengelilingi bumi.  Laut tidak pernah meninggalkan pantai. Dan bapak hanya bisa berkata dalam hati, rizki orang itu berbeda-beda, kenapa istriku bersikeras mengejar keinginannya?
Ibu menepuk pundak bapak dan berkata, “kok malah bengong?”
“Iya, bu. Tapi, bagaimana nanti dengan sekolah Dirga?”
“Sudahlah, pak! Soal pendidikan Dirga nanti sudah diatur oleh Budhe Happy. Bapak tidak perlu terlalu khawatir,” jawab ibu menenangkan bapak. Bapak dan ibu pun lantas berkemas untuk keberangkatan esok hari.
Ibu, bapak, aku, dan Nisa adik perempuanku berangkat ke Sumatra keesokan harinya. Bapak presiden, lebih tepatnya gambar bapak presiden, kini ikut terkubur bersama puing-puing akibat gempa jogja hari Sabtu kemarin. Puing demi puing ibu pandangi dengan seksama rumahnya yang kini telah rata dengan tanah.
Berkata ia padaku, “kita ini orang susah, nduk. Tapi, mengapa Tuhan memberi cobaan semacam ini? Hikmah apa sebenarnya di balik ini semua?”
Sayang sekali, kejadian yang menimpa keluarga kami di Klaten akibat kejadian yang menggempakan kota Jogja tak bisa kuabadikan. Jangankan foto rumah, foto keluarga pun aku tak punya. Tapi, dalam hatiku aku berjanji bahwa suatu hari nanti akan kukisahkan potret keluargaku melalui tulisan. Meski foto keluarga tak ada, namun ia akan abadi pada sebuah karya. Ya, karyaku yang di dalamnya mengalir genetika darahku.
Bapak bekerja sebagai seorang supir kurir penghantar barang di salah satu perusahaan besar di Sumatra. Gaji beliau lebih besar jika dibandingkan gajinya di Jawa. Namun, harta bukan segala senja yang bisa memunculkan 3 warna keindahannya. Aku di sini tak memiliki banyak teman. Hanya seekor monyet yang ibu pelihara sejak kecil akibat ditinggal ibunya yang meninggal karena serangan jantung. Begitulah kata ibu saat pertama kali mempertemukan monyet denganku.
Gempa itu yang merubah keluarga kami. Jika awan itu tak bisa ku pegang, api itu selalu menyala untuk ku perjuangkan. Jika cinta keluarga ini tak bisa ku kembalikan  sesediakala, aku hanya mengigatnya sampai aku lupa bagaimana rasanya menjadi anak yang diharapkan oleh ibu dan bapak.
Setiap bapak pulang kerja, kami selalu berkumpul di teras rumah ini,
Aku tak pernah menyesal kehilangan rumah yang mengikuti arus rerintikan hujan itu, entah meresap ketanah atau mengalir begitu saja, karna aku yakin, masih bersama bapak dan kamu Dirga, Nisa, anak-anakku wedok sek ayu dewe, itu nikmat luar biasa dari Gusti sek gawe urip.
Bapak hanya menjawab perkataan ibu itu dengan menatap ibu dalam-dalam.
“Udah lama ya pak, kita di sini,” ujar ibu lagi
Bapak menjawab dengan nada yang sedikit mengagetkan ibu “ini kan yang ibu inginkan.” Diiringi tawa bapak sedikit menggoda ibu.
“Kan ini untuk kebaikan kita semua pak, untuk masa depan Dirga.”
Bapak kan cuman bercanda bu, ya wis bapak adus sek ya bu, itu pisang gorengnya dimakan lagi sama Dirga dan Nisa bu.
Tiga tahun di Sumatra membuat bapak berpuas diri dalam mengadu nasib. Ia ingin lagi kembali ke Jawa. Ibu menolak dan debat panjang terjadi antara keduanya, layaknya politisi yang sedang berdiplomasi masalah kursi, panas dan saling mencemooh. Sebenarnya aku pun keberatan jika harus pulang lagi ke tanah Jawa. Kini aku telah duduk di kelas 5 SD, setidaknya, bapak harus menungguku lulus SD dulu lalu kembali ke tanah Jawa.
Aku mendengar dari kamar sebelah bapak berkata, “bu, ridho Allah itu ada di ridho suami.”
Ibu hanya diam dan terisak menangis keluar dari kamar. Sejak itu aku berjanji pada senja untuk tak melawan arus apapun. Aku tak mau memihak kepada siapapun; baik kepada ayah maupun ibu. Keesokan harinya, ibu dan bapak sudah baikan. Budhe Happy membelai rambut dan berkata padaku, “nduk, hari ini nanti kamu akan meninggalkan Sumatra dan akan kembali menjadi orang Jawa.”
“Budhe Happy juga ikut ke Jawa, kerumah Dirga kan budhe,” ujarku yang dulu polos dan tak mengereti apa-apa.
“Nanti pakdhe gimana kalau budhe ikut ke Jawa nduk, budhe disini aja, kamu sering-sering ngabarin budhe ya nduk besok kalau udah di Jawa.” Diciumnya keningku.
Kita adalah sisa-sisa keikhlasan yang berarah pada ketiadaan, akankan bisa bertemu kelak diperjumpaan abadi. Bermandikan sejuta cahaya yang merah yang anggun layaknya dua perempuan ibu dan budhe Happy, semangat hidup beliaulah yang bisa menjadikan aku seperti sekarang ini.
Di Jawa Bapak memutuskan untuk membangun kembali rumah kami yang ada di Klaten dengan hasil jerih payahnya di Sumatra sebagai Supir. Ibu pun kini kembali bekerja sebagai penjahit sepatu di Pasar Gentongan Klaten, kota kelahiranku.






Minggu, 08 Juni 2014

Kembali



Mengukir senja diantara persahabatan kita,
Kau yang selalu kuanggap angka meski kau tak pernah tau hal itu,
Aliran darahmu yang slalu kuhisap,
Hiraukan saja mulut-mulut berdarah itu,
Segalanya kusam,
Kau tak pernah memikirkan aku setahun yang lalu,
Kembalilah kau kisahkan kita setahun yang lalu,
Kata sakitmu,
Kulit hitammu,
Kau selalu saja perdebatkan hal yang mereka tertawakan akan kita,
Aku menyeretmu dalam ombak untuk kita,
Kau selalu saja membasahi segala warna pasir yang laut punya,
Kau tak pernah memilih warna apa untukku,
Kau kejamkan segalanya,
Untukmu yang selalu kupunya,
Bukan warna apa yang kau tau,
Bau air kencingku pun kau mau menghirupnya,
Sudah begitu kau masih saja begitu,
Tunjukan segala inginmu,
Bukan hanya aku yang kau anggap absurd dan misterius,
Tapi kau yang mengukir persahabatan ini selayak kulitmu. 


18:55

Rabu, 04 Juni 2014

Ziarahku



Terhampar luas dilautan,
Berpaluh pesih dipasir putih,
Kecupan indah di ujung telaga warna,
Ziarahku selalu mencari kau dimana,
Ujungku peluh tubuhmu,
Tulisan indah pensil warnamu,
Api tumbukan yang kau berikan,
Cinta kasihmu yang kubanggakan,
Tulus hadirmu,
Datanglah,
Ziarahku selalu untukmu, bapakku